Positifikasi Fiqih Ke-Indonesiaan: Problem Sosiologis-Interpretatiff

oleh. H. Asmawi

Iftitah

            Kenyataan menunjukkan bahwa Hukum Islam di Indonesia sudah berusia berabad-abad, dengan hukum meterial masih sangat bervariasi atau berserak-serak di dalam berbagai produk pemikiran hukum, mulai kitab figh, Yurisprudensi Pengadilan Agama, Fatwa Ulama, dan Hukum positif termasuk di dalamnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari beberapa produk pemikiran tersebut, dalam memberi solusi terhadap masalah hukum tidak selalu sama. Hal tersebut memberi dampak kurang baik bagi pelaksanaan hukum Islam dan tiadanya kepastian hukum. Sering terjadi bahwa terhadap satu kasus yang sama lahir putusan (vonis) yang berbeda dari hakim yang berbeda pula, karena referensi yang berbeda pula. Di pandang dari prinsip menegakkan kepastian hukum bagi suatu lembaga peradilan, maka kenyataan tersebut merupakan kenyataan yang tidak sehat. Karena itulah Proyek Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya dalam makalah ini disebut KHI dipandang sebagai wujud kerjasama antara Mahkamah Agung (MA) dan Departemen Agama (Depag) yang sangat penting bagi pembinaan hukum di Indonesia.

            Proyek KHI tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 1988 dalam wujud tiga buah buku hukum yang dapat dikatakan tidak controversial. Proses penyusunan KHI yang dapat melahirkan ketiga buku tersebut memang telah melibatkan kalangan umat Islam secara representatif (ulama’, organisasi masyarakat, perguruan tinggi dan sebagainya) sehingga tidak heran jika kemudian isinya dapat dikatakan tidak mengandung kontroversial yang tajam. Meskipun KHI. telah selesai disusun dan disepakati pada bulan Maret 1988 tetapi pemberian baju hukumnya dalam bentuk Intruksi Presiden(Inpres) baru diwujudkan pada bulan Juni 1991.

            Tema utama KHI adalah mempositifkan hukum Islam di Indonesia yang tidak bercorak pembahasan figh. Artinya tidak bersifat doktrin hukum dan menjadi sistem figh Islam Indonesia yang berorientasi pada ajaran Imam Madhhab. Dengan mempositifkan hukum Islam secara terumus dan sistematik dalam kitab hukum, terdapat beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai, di antaranya Melengkapi produk-produk Hukum Peradilan Agama.

            KHI sebagai hukum positif di Indonesia berjalan hampir 23 tahunan lebih, kemudian mendapatkan respon oleh sebagian masyarakat terutama mereka yang aktiv di Pengarusutamaan Gender, yang dimotori oleh Musdah Mulia.  Mereka menilai ada beberapa hal yang patut direvisi untuk merelevansikan pasal-pasal yang ada dalam KHI dengan kondisi dinamika masyarakat Muslim. Terutama pasal-pasal yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Tiga materi tersebut disusun dalam sebuah draft revisi KHI yang kemudian disebut dengan CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam). Draft tandingan KHI yang bernuansa gender. Para penggiat gender menginginkan kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam berbagai hal,.

            Di antara yang direvisi oleh CLD KHI dari KHI secara garis besar sebagai berikut: perkawinan bukan ibadah, tetapi akad sosial kemanusiaan (muamalah), pencatatan perkawinan oleh pemerintah adalah rukun perkawinan, perempuan bisa menikahkan sendiri dan menjadi wali nikah (CLD-KHI pasal pasal 7), mahar bisa diberikan oleh calon istri dan suami (pasal16), poligami dilarang, perkawinan dengan batasan waktu boleh dilakukan, perkawinan antar agama dibolehkan, istri boleh memiliki hak thalaq dan ruju’, hak dan kewajiban suami istri setara (pasal 50). Beberapa item permasalahan perkawinan di itu bisa jadi di latar belakangi adannya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuam dalam memberikan peran-peran dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam masalah kehidupan keluarga. Atau bisa jadi masukan-masukan yang ada dalam CLD KHI tersebut bertujuan untuk mendesakralisasi institusi pernikahan, yang selama ini selalu dianggap sakral oleh mayoritas manusia.   

 

KHI dan CLD KHI VS Perkawinan Kontroversial

            Penulis mencoba memberikan gambaran sekilas tentang filosofi dari masalah perkawinan dalam konteks ke-Indonesiaan. Dalam konteks ke-Indonesiaan, institusi perkawinan ini tidak dapat dilihat dengan satu atau dua perspektif saja, karena masyarakat Indonesia hidup dengan berbagai dimensi. Mereka adalah umat beragama yang mempunyai aqidah (keyakinan), sebagai warga Negara Indonesia, juga menjadi anggota masyarakat yang berbudaya. Maka sebuah ikatan pernikahan yang dijalani oleh orang Indonesia juga harus sesuai dengan ajaran-ajaran teologis (agama), dimensi sosiologis (adat), maupun yuridis formal (hukum positif). Ketiga dimensi ini adalah standar pelaksanaan pernikahan yang terjadi di Indonesia. Misalnya seseorang yang menginginkan nikah, dia harus memenuhi syarat dan rukun agama (kedua mempelai, wali perempuan, 2 orang saksi, akad dan mahar), dirayakan sesuai dengan tradisi di lingkungannya, juga harus dicatatkan pada pelaksana pencatat nikah kantor urusan Agama (PPN KUA) (pasal 7 ayat 1 KHI).

Dengan dipenuhinya ketiga hal tersebut seseorang baru dinyatakan sah menurut agama dan hukum yang berlaku di Indonesia, juga telah mensosialisasikan perkawinannya kepada orang lain. Tetapi kadang kala ketiga dimensi pernikahan tersebut tidak dipahami oleh masing-masing pasangan perkawinan. Akibatnya Perkawinan (pernikahan) dijalani sesuai dengan keinginan masing-masing, tanpa mengindahkan norma agama, adat maupun hukum positif. Sehingga suatu tempo terjadi ketidak cocokan antara kedua belah pihak, jaminan hak dan kewajiban antara pasangan suami istri tidak bisa diproteksi (dijaga). Akhirnya suatu pernikahan yang pada awalnya bertujuan untuk menciptakan perdamaian, ketentraman, ketenangan hidup (sakinah mawaddah wa rahmah), malah menyebabkan permusuhan dan konflik yang berkepanjangan antar anggota masyarakat.

Sekedar contoh pernikahan yang terjadi antara pendangdut senior Machica Mochtar dengan Moerdiono yang terjadi pada tanggal 20 desember 1993 (Jawa Pos, 19 Februari 2012). Perkawinan tersebut disebut sirri, dikarenakan tidak diformalkan dengan dicatat di Kantor Urusan Agama setempat. Akhirnya ketika perkawinan tersebut berbuah seorang anak yang bernama M. Iqbal Ramadhan, sulit untuk mendapatkan hak keperdataan dikarenakan tidak dilaluinya administrasi pernikahannya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Baru kemudian, setelah diajukan Yudicial Review terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1 tentang status hak keperdataan anak, didapatkan hak-hak keperdataan anak dari hasil perkawinan sirri tersebut. Mulai hak kewarisan, hak keturunan biologis dan hak-hak yang lain sebagai anak yang sah. Pernikahan yang terjadi antara Machicha Mochtar dengan pak Moer ini, mungkin hanya sebagian kecil dari banyak kasus pernikahansirri yang terjadi di Indonesia.

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang fakta sosial yang menurut penulis dapat dikagorikan sebagai perkawinan kontroversial (Merried Controvercial), yaitu tentang perseteruan antara Eyang Subur dan Adi Bin Slamet dkk, yang kemudian divonis sesat secara aqidah dan syari’at serta disuruh untuk bertaubat. Masalah yang dialami oleh eyang Subur tersebut patut disebut kontroversi karena dilakukan dengan melawan arus utama (mainstream) orang Indonesia, yang nota bene selalu santun, patuh, baik sebagai warga negara maupun sebagai umat yang ta’at menjalankan ajaran Agama. Tetapi anehnya peristiwa yang sama juga sering terjadi, yang melibatkan beberapa kalangan. Di antaranya mantan Bupati Garut Aceng Fikri, perkawinan Eyang Subur dengan istri yang berjumlah 8 orang dan fakta terakhir kejadian perkawinan kilat seorang anggota legislatif yang berinisial M. Hasan Ahmad dengan anak baru gede (ABG) yang berinisial ASR, diketahui ditangkap di salah sebuah hotel di Surabaya. 

Memang  masyarakat Indonesia, dilihat dari struktur sosialnya mayoritas adalah penganut  kultur patriarchi. Yakni sebuah sistem sosial di mana klan laki-laki lebih dominan dibanding dengan klan perempuan. Laki-laki mengambil peran-peran public, sedangkan perempuan diposisikan sebagai pelaku dalam bidang-bidang domestic (dapur, kasur, sumur ). Laki-laki lebih berperan sebagai pemimpin sebuah keluarga, dan wanita adalah sekedar pendamping hidup. Civil effect dari budaya ini memposisikan kaum Hawa/perempuan sebagai pihak makhluk kelas dua di bawah superior laki-laki/kaum Adam. Perempuan hanya sebagai obyek dari kepentingan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang tidak jarang mendapatkan perlakuan tidak adil atau bahkan semena-mena oleh perlakuan kaum Adam.

Maka dari itu, tinjauan sosiologis dalam rangka memberikan pemahaman dan rasionalisasi kepada masyarakat tentang status gender, untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat perkawinan yang  di lakukan di bawah tangan (sirri) merupakan suatua hal yang mutlak diperlukan. Dengan adanya pemahaman bersama tentang hak dan kewajiban, antara laki-laki dengan perempuan dalam menjalani kehidupan bersama, akan menciptakan sebuah budaya baru (new cultur) yang memposisikan kaum Adam dan Hawa sebagai partner, dapat menjalankan fungsi masing-masing sesuai dengan kodrat Tuhannya. Tanpa ada sikap saling merendahkan, menomorduakan pihak lain, yang berakibat runtuhnya ikatan perkawinan dan rusaknya struktur budaya yang bernilai luhur.

Di samping itu, wacana tentang pengertian nikah sirri,  selama ini yang terjadi di Indonesia, banyak menjadikan hukum Agama sebagai perangkat pembenar (justifikasi) terjadinya pernikahan di bawah tangan. Padahal Pengertian nikah sirri di lihat dari kacamata sejarah Agama Islam pada masa Rasulullah dan Sahabat besar (Khulafa’ al-Rasyidin) adalah pernikahan yang dilakukan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Artinya pernikahan di sebut sirri (rahasia) pada zaman Nabi Saw. Dan sahabat dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam.

 Hal ini jelas berbeda dengan pemahaman nikah sirri menurut wacana orang Indonesia yang mengartikan bahwa nikah sirri adalah nikah yang tidak dicatatkan di depan pencatat pernikahan (KUA). Artinya terminologi tentang pernikahan sirri ternyata dinamis sesuai dengan konteksnya dimana institusi perkawinan itu tumbuh dan berkembang. Kalau pada zaman Nabi nikah sirri dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pernikahan, sedangkan menurut orang Indonesia yang tidak diformalkan sesuai dengan hukum positif yang berlaku, baik Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun UU No 1 tahun 1974.   Untuk itu pemahaman hukum Islam yang berhubungan dengan pernikahan sirri memerlukan review ulang agar umat Islam Indonesia yang mayoritas terkena khitob (tuntutan) dari Kompilasi Hukum Islam mendapatkan pencerahan kembali bahwa nikah sirri itu bersifat historisitas. Artinya hasil dari perjalanan sejarah hidup manusia yang juga memerlukan perbaikan atau pemaknaan ulang.

Bias pemaknaan semacam itu tidak terlepas dari pengetahuan umat Islam Indonesia, yang selama ini  menganggap bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan fiqih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning adalah berbeda dan diposisikan secara diametral berhadap-hadapan. Kalau fiqih dalam kitab kuning adalah hukum Allah Swt yang wajib dipatuhi, sedangkan hukum-hukum yang tercantum dalam KHI adalah hukum manusia semata, yang banyak kekurangan dan tidak wajib diamalkan. Ini jelas pemahaman yang kurang benar. Karena secara kronologis hukum–hukum yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam disusun oleh para fuqaha’ umat Islam Indonesia yang bersumber dari kitab-kitab fiqih juga, walaupun referensi/sumber rujukannya berasal dari lintas madhhab fiqih di samping pertimbangan sosiologis masyarakat Indonesia. Demikian juga kitab-kitab kuning, adalah hasil dari kreasi para fuqaha’ dalam menyelesaikan problematika umat Islam di sekitarnya.  Ato’ Mudhar dalam bukunya Pendekatan Studi Islam menjelaskan, kitab fiqih (kitab kuning) adalah hasil dari pemikiran para ahli (mujtahid) hukum Islam di samping fatwa ulama, qanun (undang-undang yang berlaku di negara muslim). Untuk itu baik KHI maupun kitab kuning keduanya adalah hukum Allah yang ditafsirkan oleh para ahli (faqih), yang sama-sama harus dipatuhi untuk di amalkan oleh umat Islam di manapun dan kapanpun, khususnya orang Indonesia. Maka dari itu sosialisasi tentang hukum positif di Indonesia perlu mencari format ulang, sehingga pemahaman masyarakat tentang bias pemaknaan terhadap hukum positif dan hukum Islam dapat dihindari, apalagi kalau materi hukum formilnya berhubungan erat dengan hukum-hukum Agama (Islam!).

 Dari Perspektif yuridis formal nikah sirri dilarang oleh Undang-Undang, baik UU No 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Maka perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi kriteria kedua hukum positif itu, dianggap tidak sah. Atau sama juga dikatakan pernikahan tersebut dianggap tidak ada. Pelarangan ini secara filosofis bertujuan untuk memberikan kemaslahatan (kebaikan) kepada kedua belah pihak. Yakni hak dan kewajiban sebagai suami istri (huquq al-zawjiyah) akan bisa dijamin dihadapan hukum. Baik hak tentang kepengasuhan, pemenuhan hajat-hajat ekonomi (nafaqah), kebutuhan biologis, kebebasan berkreasi, berkarya atau hak-hak lain pasca ikatan perkawinan terjadi. Dan seandainya terjadi  pelanggaran hak dan kewajiban dari salah satu pihak, dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.   

Itulah potret pernikahan sirri yang terjadi di Indonesia, yang mencerminkan keberagamaan umat Islam di Indonesia. Suatu fenomena menarik dari pengamalan ajaran Agama khususnya hukum Islam. Hukum Islam hasil dari idealisme para ahlinya belum bisa dimaknai dan diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan harapan para pengarangnya. Karena dimensi historisitas manusia kadangkala lebih dominan dibanding dengan tujuan diterapkannya hukum Islam. Ini diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor sosial budaya Indonesia yang berpotensi adanya keberagaman (pluralism), faktor sumberdaya manusia yang kurang memahami hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia, atau mungkin faktor politik yang mengitari tumbuh dan berkembangnya hukum Islam.

Kesimpulannya, fenomena nikah kontroversial di Indonesia dapat menemukan jalan keluarnya, dengan memberikan pemahaman yang benar tentang hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia. Ini bisa dilakukan dengan melakukan pemberdayaan umat Islam di Indonesia terutama tentang makna hukum positif dan hukum Islam. Melakukan reformulasi sosialisasi tentang hukum Islam juga merupakan kepentingan yang tak kalah pentingnya di banding dengan materi hukum Islam itu sendiri. Di sisi lain harus dibarengi dengan upaya-upaya dari pemegang otoritas perkawinan untuk melakukan terobosan dan kebijakan supaya pengamalan ajaran agama di Indonesia tidak dijadikan obyek kebijakan semata, tetapi juga merupakan tindakan yang bernilai pengabdian untuk umat, bangsa dan Negara. Sehingga pernikahan sebagai institusi perkawinan yang sakral akan tetap terjaga dan terpelihara oleh umat Islam Indonesia. Dan pada akhirnya terwujudlah generasi-generasi yang bermartabat sebagai hasil perkawinan yang bermartabat pula. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.