DISKUSI ILMIAH DOSEN DAN DOA BERSAMA

DISKUSI ILMIAH DOSEN DAN DOA BERSAMA

         keluarga besar Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (FASIH) IAIN Tulungagung.Pada hari senin tanggal 13 Februari tahun 2017,sebagaimana semestinya agenda awal perkuliahan di setiap Fakultas mengadakan agenda rutin. Khususnya Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (FASIH) dengan agenda Diskusi Ilmiah Dosen sekaligus Doa bersma. dalam kali ini doa bersama di ikuti seluruh jajaran dosen dosen beserta mahasiswanya. secara langsung kegiatan ini sangat positif di mana acara diskusi para dosen ini di selengarakan di gedung Aula utama IAIN Tulungagung ,hampir skian ribu mahasiswa FASIH memadati auditorium,mulai pagi mahasiswa berduyun duyun mendatangi acara tersebut.di samping itu dalam acara tersebut selain doa bersma juga di isi DISKUSI ILMIAH oleh Dosen. dalam Diskusi tersebut membedah langsung dalam TEMA "Pemberantasan dan Penegakan Hukum Pidana Korupsi di Indonsia" secara langsung dengan ini khususnya Fakultas Syariah  dan Ilmu Hukum (FASIH) tidak segan segan,langsung mendatangkan para pakar pakar Hukum. narasumber tersbut 1.Bapak Mulyono SH,MH selaku KEJATI JAWA TIMUR dan Bapak Dr HM.Darin  Mualifin,SH.M.HUM selaku prakitisi dosen Ilmu Hukum.

            meliat konteks yang ada di indonesia,Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hal berarti bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus berdasarkan hukum positif di Negara ini. Apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan hukum maka harus dilakukan penegakan hukum. Dalam penegakan hukum itu sendiri tidak memandang adanya perbedaan status, baik itu pangkat, jabatan, jenis perkara dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan adanya asas equality before the law (semua dipandang sama didepan hukum) yang selalu dijunjung tinggi oleh para penegak hukum. Dalam era pasca reformasi seperti saat ini banyak terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang telah menjangkiti orang-orang professional dan para pejabat di negeri ini yaitu tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi ini merupakan kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan yang dahsyat di Indonesia, karena dari waktu ke waktu seakan kejahatan ini tidak ada habisnya, namun semakin berlanjut dari waktu ke waktu baik itu di pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Tindak pidana korupsi selain merugikan keuangan negara juga merugikan dan membuat resah rakyat Indonesia, betapa teganya para professional dan para pejabat merampok uang negara yang berasal dari rakyat dengan realita adanya 29,89 juta rakyat Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan. Di Indonesia secara umum mengenai tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Jika ditinjau dari sisi legal substance (peraturan hukum) penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dapat dikatakan cukup baik, namun jika ditinjau dari sisi lain seperti legal structure (aparat penegak hukum) maka penilaiannya akan berbeda. Masyarakat memandang law enforcement terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kurang baik karena adanya pembeda-bedaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang lazim kita sebut koruptor. Pembeda-bedaan ini yang membuat terjadinya dinamika penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga super body seakan tebang pilih terhadap perkara-perkara korupsi. Bagaimana tidak ketika terjadi perampokan uang negara dalam perkara korupsi bank century yang mencatut nama wakil presiden Boediono dan mantan menkeu Sri Mulyani yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 6,7 Triliun sampai sekarang belum terungkap. Kasus century seakan menguap hilang, tidak ada kabar keberlanjutannya, padahal proses audit forensik yang dikatakan sebagai jalan pembuka bagi terungkapnya perkara korupsi bank century telah selesai dilakukan yang prosesnya sejak Desember 2011 dan telah menelan biaya Rp. 93 Miliar. Berbeda century, berbeda lagi dengan penanganan perkara korupsi asrama atlet di Palembang. Perkara ini tergolong perkara yang cepat ditangani dan cepat diproses hingga beberapa waktu lalu terdakwanya M. Nazaruddin telah di vonis oleh hakim dengan hukuman 4 tahun 10 bulan penjara. Mantan mensos Bachtiar Chamsyah yang juga baru bebas dari hukuman mengatakan bahwa “Negara ini telah kalah dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi karena telah melakukan tebang pilih perkara korupsi”. Semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi juga mulai dinodai oleh beberapa putusan bebas yang dijatuhkan kepada beberapa kepala daerah yang tersandung perkara korupsi. Dengan adanya realita seperti ini membuat sebuah persepsi negatif masyarakat mengenai law enforcement tindak pidana korupsi. Ketika dulu besan Presiden SBY, Aulia Pohan yang tersangkut perkara korupsi dan benar-benar dilakukan penegakan hukum kepadanya, seakan ada “angin segar” mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang tidak pandang bulu, namun saat ini “angin segar” tersebut seakan mulai hilang dengan adanya sebuah dinamika tersebut. Melihat keadaan yang seperti ini asas equality before the law sebagaimana yang disebutkan diatas tadi seakan tidak dijunjung lagi oleh aparat penegak hukum.demikan  dengan inilah pemaparan dari narasumber dalam diskusi ilmiah tersebut.