DISKUSI ILMIAH DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM IAIN TULUNGAGUNG

Dalam rangka memantapkan dan mengembangkan pengetahuan dan wawasan serta mengasah keilmuan dosen-dosen di lingkungan IAIN Tulungagung, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (FASIH) memiliki banyak agenda rutin, di antaranya adalah Diskusi Ilmiah. Setelah diresmikan menjadi IAIN Tulungagung, diskusi ilmiah yang pertama kali digelar oleh FASIH, yang pada kesempatan ini diskusi dilaksanakan pada tanggal 8 April 2014.

Dalam diskusi yang perdana ini, FASIH menghadirkan dua narasumber yaitu H.M. Darin Arif Muallifin, SH., M.Hum. dengan tema “Memadukan Wawasan, Kesadaran dan Kecakapan: Mewujudkan Kehidupan Politik di Indonesia yang Berkeadaban”, dan Kutbuddin Aibak, S.Ag., M.H.I. dengan tema “Pemberdayaan Zakat: dari Konsumtif-Produktif Pasif ke Produktif Aktif”, sedangkan moderator dalam diskusi ini adalah Dr. Iffatin Nur, M.Ag.

Dalam kesempatan diskusi yang pertama ini, sekaligus sebagai tanda launching forum ini Bapak Rektor IAIN Tulungagung, DR. Maftukhin, M.Ag. juga menyempatkan hadir dan memberikan motivasi yang luar biasa bagi semua dosen, khususnya FASIH. Diskusi ini juga dihadiri oleh dosen-dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI).

Diskusi ini berlangsung secara khidmat dan serius, kurang lebih selama 2 jam, dan para peserta diskusi pun cukup antusias dengan berbagai komentar dan pertanyaannya.

Beberapa hal yang bisa dishare di laman ini antara lain: Beberapa pokok pemikiran Bapak Darin adalah pertama, setiap manusia adalah pemimpin yang esensinya adalah “memilih”. Dalam konteks politik yang esensinya adalah “konflik”, kepemimpinan (oleh manusia-rakyat-demokrasi) dihadapkan pada pilihan-pilihan, baik-buruk, manfaat-madharat dan seterusnya. Menjadi pemimpin (demokrasi) adalah bukan hak tapi kewajiban yang senantiasa akan diminta pertanggungjawaban.

Kedua, untuk menjadi pemimpin (politik-demokratis) yang beradab, dapat diperoleh dari belajar dan melaksanakan nilai dari pendidikan kewargaan, memahami dan melaksanakan tanggungjawab manusia sebagai makhluk pembelajar, pemimpin, dan guru mewujudkan nilai Pancasila dan itba’ Rasul dan sahabat.

Sedangkan beberapa gagasan Bapak Aibak antara lain bahwa keberadaan zakat semestinya menjadi rujukan bagi umat Islam, secara khusus para pengelola zakat (formal dan informal), bahwa ending dari penunaian zakat itu adalah kesejahteraan, kemakmuran, dan kemaslahatan. Baik zakat mal (harta benda) maupun zakat fitrah (jiwa). Akan tetapi pada kenyataannya, bila kita mencermati kondisi bangsa ini, ternyata masih jauh dari tujuan-tujuan penunaian zakat.

Zakat mal (harta benda) semestinya menjadi salah satu unsur yang menjadikan bangsa kita ini sejahtera. Akan tetapi karena belum ada kejelasan siapa saja yang the have, maka pengumpulan zakat mal tidak bisa maksimal. Ketidakjelasan tersebut dikarenakan banyak faktor, antara lain kaum the have sengaja atau tidak sengaja, tidak mau mengeluarkan zakatnya, berdalih tidak masuk kategori muzakki, atau harta yang dimiliki belum ada satu nisab, dan seterusnya. Di samping itu dan pada akhirnya, keberadaan lembaga zakat (BAZ/LAZ) kurang bisa maksimal dalam pengelolaan zakat, karena yang mengeluarkan zakat juga tidak maksimal.

Sedangkan zakat fitrah, berdasar atas tradisi yang selama ini ada dan sudah bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, penunaian zakat fitrah hanya berkutat pada sisi pentasarufan yang sifatnya konsumtif. Pada akhirnya, selesai zakat fitrah ditasarufkan, selang 1 atau 2 hari zakat itu sudah habis, karena dimasak dan lalu dimakan. Begitu, begitu, dan begitu saja. Kalau hal ini tetap saja seperti itu, kemungkinan dan bisa dipastikan masyarakat kaum lemah akan terus menjadi kaum lemah, kaum yang membutuhkan belas kasihan orang lain. Mereka tidak akan pernah terberdayakan, dan tidak akan pernah beranjak dari mustahiq menjadi muzakki.

Oleh karena itu, perlu ada alternatif pemikiran agar zakat fitrah tidak hanya bersifat konsumtif, selesai diberikan langsung habis. Salah satu alternatif pemikiran itu adalah menjadikan zakat fitrah sebagai sesuatu yang sifatnya produktif. Hal ini tidaklah terlalu sulit untuk dilaksanakan, tinggal bagaimana masyarakat dan pengelola zakat fitrah itu menyikapinya.

Secara informal, masyarakat harus mau bekerjasama dengan pengelola zakat yang ada di suatu lembaga/organisasi (masjid atau mushala). Para pengelola zakat fitrah harus mensosialisasikan segencar mungkin agar masyarakat paham dengan zakat produktif ini, dan para pengelola juga harus benar-benar amanah. Demikian juga secara formal (BAZ/LAZ).

Ada banyak cara agar zakat fitrah bisa menjadi zakat yang produktif. Misalnya, dalam suatu lingkungan masjid atau dalam lingkup desa atau secara terlembaga (BAZ/LAZ); kalau zakat fitrah yang terkumpul itu banyak maka zakat tersebut diuangkan semua, lalu dijalankan dalam bentuk usaha, seperti peternakan, perikanan, atau pertanian dan sebagainya. Bila sudah panen, maka hasilnya itu dibagikan kepada yang berhak menerima, dan dana pokok dari zakat fitrah itu masih tetap dan digunakan untuk usaha lagi.

Jika masyarakat tidak begitu sepakat, mungkin dengan jalan konsumtif dan produktif; artinya 50% langsung diberikan kepada yang berhak menerima, dan 50% lainnya digunakan berwirausaha oleh para pengelola zakat. Begitu seterusnya, sehingga dana yang pokok tetap, dan bertambah tahun dana pokok itu akan terus bertambah karena setiap tahun orang yang wajib mengeluarkan zakat fitrah terus menunaikannya.

Apabila alternatif pemikiran ini bisa diwujudkan dan dilaksanakan, ada kemungkinan masyarakat kaum lemah akan terberdayakan. Para pengelola zakat melibatkan mustahik dalam berwirausaha, sehingga lambat laun para mustahik itu memiliki ketrampilan berwirausaha di satu sisi, dan di sisi yang lain mereka akan menjadi muzakki, tidak lagi mustahiq. Entah kapan, semoga hal ini bisa terwujud. Wa Allahu a’lam