Dalam Paparannya Dr. KH. Asmawi menyampaikan secara garis besar dalam artikelnya bertajuk "murunah ijtihad nahdhatul ulama min fiqh al-hadharah ila din al-'ishrin" bahwa berawal dari dinamika masyarakat, sikap fikih yang dimotori oleh Nahdlatul Ulama telah menunjukkan fleksibilitasnya. Ini dapat dibuktikan dengan konsistensi Nu yang selalu bersikap dalam membantu masyarakatdalam menyelesaikan problematikanya, sejak awal berdirinya samapai saat ini. Pembaru-pembaru Hukum Islam dari dalam NU misalnya KH. Sahal mahfudz dan KH. Ali yafie dengan fiqih sosial, KH. Abdurahman Wahid dengan membumikan Islam, KH. Masdar Masudi dengan tema zakat dan pajak, KH Said Aqil Siraj dengan Fiqih Nusantara, KH Qadri Azizi dengan pemikiran Ijtihad Modern. Yang kesemuannya berusaha mendialik kan anatra hukum Islam dan perubahan Masyarakat. Saat ini Nahdahtul Ulama menggagas halaqah fikih peradaban (fiqh al-hadharah) yang tidak hanya menyikapi kasuistik lokal, melainkan berkembang hingga internasional. Bidang yang dikaji juga masalah-masalah yang lagi berkembang dalam kehidupan umat manusia saat ini(humanisme. )Melalui Religion of Twenty (R20) Halaqah fiqh peradaban membuktikan, bahwa ijtihad Nahdlatul Ulama baik secara teoritis maupun praktis dengan pendekatan maqashid syari'ah semuanya bermuara kepada kemaslahatan. Terdapat beberapa hal penting dalam fiqih hadlarah dan Relegion of 20 yakni perubahan Masyarakat, hukum Islam atau syariat danmaqashid Syariah sebagai wordview (sudut pandang).
Dr. Abbas Shofwan Mathlail Fajar, menanggapi artikel di atas setidaknya dengan tiga poin: Pertama, ijtihad Nahdlatul Ulama yang marîn (fleksibel) atau murûnâh (elastis) semuanya bermuara pada maslahah. Hal ini tidak paradoks dengan konsep Charles yang mengatakan bahwa "believe" terbangun dari "doubt". Hal ini juga sesuai dengan kaidah ushul fikih, yaitu aghlâbiyât al-ahkam mansya'uhâ ad-dzan” (mayoritas hukum terbangun dari asumsi). Kedua, Nahdlatul Ulama menginstruksikan untuk tidak hanya merawat fikih dalam bidang muamalah, jinayah, atau ibadah, saja, tetapi juga fikih ekologi atau yang dikenal sebagai fikih bi'ah. Sebab hal ini juga merupakan salah satu manifestasi dari maqâshid al-syarî‘ah. Ketiga, fiqh al-hadhârah adalah salah satu kategori dari maqâshid al-‘ulya al-hâkimiyyah pada bagian al-‘umrân (pembangunan peradaban).
Bu Nyai Arifah Millati Agustina, MHI menanggapi artikel tersebut, bahwa terdapat distingsi antara Humanitarian Islam dengan Fikih peradaban. Humanitarian Islam dipandang sebagai sebuah bangunan utuh dan universal dari dasar-dasar fikih. Sementara itu, fikih peradaban merupakan gerakan pengetahuan Nahdhatul Ulama yang berupaya mengintrodusir metode ijtihad Nahdhatul Ulama dari Qauli ke manhaji. Catatan penting dari Pelibatan pengalaman perempuan dalam ijtihad-ijtihad Nahdlatul Ulama. Namun, saat ini Nahdhatul Ulama juga perlu diapresiasi karena telah melibatkan perempuan secara struktural. AMW