BEDAH BUKU “FIQH INDONESIA: KHI DAN CLD KHI DALAM BINGKAI POLITIK HUKUM INDONESIA

Dalam rangka mengembangkan wawasan dan pengetahuan sivitas akademika IAIN Tulungagung, khususnya terkait dengan perkembangan Fiqh Indonesia dalam perspektif politik hukum di Indonesia, maka Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum menyelenggarakan kegiatan Bedah Buku dengan judul: “Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia”. Kegiatan ini diadakan pada hari Senin tanggal 28 April 2014 yang bertempat di Auditorium lantai 3 Rektorat IAIN Tulungagung.

Dalam kegiatan bedah buku ini, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung menghadirkan narasumber sekaligus penulis buku Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, Dr. H. Marzuki Wahid, M.Ag. dari IAIN Cirebon dan sebagai pembandingnya adalah Dr. H. Asmawi, M.Ag. yang dipandu oleh Kutbuddin Aibak, S.Ag., M.H.I. Kegiatan ini diawali dengan sambutan Rektor IAIN Tulungagung sekaligus meresmikan pembukaan acara bedah buku ini.

Dalam penjelasannya, Dr. Marzuki Wahid menyampaikan bahwa buku ini adalah buku Fiqh Madzhab Negara plus CLD-KHI. Secara umum, buku ini berisi tentang dua hal, yakni KHI dan CLD-KHI. KHI dan CLD-KHI dalam buku ini dikaji dari perspektif politik hukum di Indonesia. Dalam perspektif politik hukum, KHI adalah produk politik yang digodok oleh MA dan Depag. Kepentingan negara Orba sangat berpengaruh dalam formulasi hukum Islam versi KHI. Oleh karena itu, saya sebut KHI sebagai Fiqh Madzhab Negara.

Dalam kajian politik hukum, karakter KHI dalam konteks strategi pembentukan hukum: semi responsif. Sebab dirumuskan oleh Yudikatif dan Eksekutif, serta terdapat partisipasi masyarakat sipil. Dalam konteks materi hukum, KHI berkarakter semi otonom, reduksionistik, dan konservatif. Otonom, karena hampir seluruh materinya adalah hukum Islam (fiqh); reduksionistik karena hanya al-ahwal asy-syakhshiyah saja yang dilegislasikan, dan konservatif, karena nyaris tidak ada inovasi dan kemajuan kecuali hanya menjiplak dari fiqh Timur Tengah dan Arab saja. Dalam implementasi hukum, KHI berkarakter fakultatif, tidak mengitat (ghairu mulzim). Sedangkan dari sisi fungsi hukum, KHI berkarakter regulatif dan kegitimatif. Regulatif, karena lebih banyak mengatur teknis ketimbang mengubah kondisi masyarakat, dan legitimatif karena hampir seluruh isinya melegitimasi instansi dan lembaga yang dibentuk negara, seperti KUA, PPAIW, Pengadilan, Desa, Camat, dan pendasarannya juga peraturan-perundang-undangan, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.

Sementara CLD-KHI sebagai counter atas KHI dirumuskan oleh kalangan civil society, tanpa keterlibatan Pemerintah, Yudikatif dan Legislatif. CLD-KHI belum bisa disebut produk politik karena belum digodok Pemerintah dan Parlemen. Ada 23 tawaran pembaruan yang berbeda dari KHI. Di antaranya: pencatatan menjadi rukun perkawinan, sebaliknya wali dihilangkan. Poligami diharamkan (haram li ghairihi). Perkawinan dipandang sebagai kontrak sosial kemanusiaan (mu'amalah), bukan ibadah. Thalak dan khuluk diposisikan sama saja. Laki-laki dan perempuan diposisikan setara dalam perkawinan, memiliki hak dan kewajiban yang setara.CLD-KHI ini disebut oleh Dr. Marzuki sebagai Hukum Islam Transformatif, karena banyak menawarkan pembaruan hukum Islam yang transformatif. 

Dengan tambahan hasil penelitian CLD-KHI dalam buku ini, studi saya tentang positivisasi hukum Islam di Indonesia dan studi politik atas hukum Islam semakin lengkap dan berimbang antara kehendak negara dan respon masyarakat sipil (civil society) dalam menghadirkan hukum Islam dalam wadah negara Pancasila. Atas tambahan materi CLD-KHI ini, judul buku ini saya ubah dari ”Fiqh Madzhab Negara” menjadi ”Fiqh Indonesia”.

Penyebutan ”Fiqh Indonesia” mungkin terkesan hiperbolik, lebay, atau bahkan simplistik. Karena ”hukum Islam di Indonesia” tentu saja tidak hanya KHI dan CLD-KHI. Masyarakat muslim Indonesia jauh lebih kaya memiliki pemahaman tentang hukum Islam yang tersebar ke berbagai jantung kehidupan masyarakat, misalnya bahtsul masâ’il, majlis tarjih, majlis fatwâ, dewan hisbah dalam Ormas-ormas keislaman, perguruan tinggi Islam, majelis ta’lim dan pondok pesantren yang jumlahnya ribuan. Ini semua adalah kekayaan pemahaman hukum Islam, terlebih lagi bila dikaitkan dengan praktik hukum Islam yang menyatu dengan denyut kebudayaan Indonesia. Ragam praktik hukum Islam di Indonesia sebanding dengan banyaknya ragam kebudayaan itu sendiri di setiap pojok Indonesia.

Dalam buku ini, saya ingin menegaskan bahwa ”hukum Islam Indonesia” atau ”fiqh Indonesia” adalah akumulasi dari persilangan intensif dan dialog interaktif antara pemahaman kontekstual hukum Islam dengan kearifan masyarakat Indonesia beserta seluruh darah daging kebudayaannya dalam lanskap kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. ”Fiqh Indonesia” sesungguhnya sudah ada sejak masyarakat Muslim Indonesia secara teologis menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Konstitusinya. Penerimaan secara teologis ini adalah awal dari penyatuan Islam dengan Indonesia, yang kemudian menjadi ”Islam Indonesia.” Sebelum terjadi penerimaan secara teologis, Indonesia masih dipandang sebagai pihak lain yang harus ditundukkan menjadi ”negara Islam”, atau Islam masih dipandang sebagai agama import yang mengancam akan mengubah bangunan kebudayaan Indonesia menjadi Arabisme. 

Sementara itu, sebagai pembanding, Dr. H. Asmawi menyatakan bahwa proyek KHI tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 1988 dalam wujud tiga buah buku hukum yang dapat dikatakan tidak controversial. Proses penyusunan KHI yang dapat melahirkan ketiga buku tersebut memang telah melibatkan kalangan umat Islam secara representatif (ulama’, organisasi masyarakat, perguruan tinggi dan sebagainya) sehingga tidak heran jika kemudian isinya dapat dikatakan tidak mengandung kontroversial yang tajam. Meskipun KHI telah selesai disusun dan disepakati pada bulan Maret 1988 tetapi pemberian baju hukumnya dalam bentuk Intruksi Presiden(Inpres) baru diwujudkan pada bulan Juni 1991.

Tema utama KHI adalah mempositifkan hukum Islam di Indonesia yang tidak bercorak pembahasan fiqh.Artinya tidak bersifat doktrin hukum dan menjadi sistem fiqhIslam Indonesia yang berorientasi pada ajaran Imam Madhhab. Dengan mempositifkan hukum Islam secara terumus dan sistematik dalam kitab hukum, terdapat beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai, di antaranya Melengkapi produk-produk Hukum Peradilan Agama.

KHI sebagai hukum positif di Indonesia berjalan hampir 23 tahunan lebih, kemudian mendapatkan respon oleh sebagian masyarakat terutama mereka yang aktiv di Pengarusutamaan Gender, yang dimotori oleh Musdah Mulia. Mereka menilai ada beberapa hal yang patut direvisi untuk merelevansikan pasal-pasal yang ada dalam KHI dengan kondisi dinamika masyarakat Muslim. Terutama pasal-pasal yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Tiga materi tersebut disusun dalam sebuah draft revisi KHI yang kemudian disebut dengan CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam). Draft tandingan KHI yang bernuansa gender. Para penggiat gender menginginkan kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam berbagai hal,.

Di antara yang direvisi oleh CLD KHI dari KHI secara garis besar sebagai berikut: perkawinan bukan ibadah, tetapi akad sosial kemanusiaan (muamalah), pencatatan perkawinan oleh pemerintah adalah rukun perkawinan, perempuan bisa menikahkan sendiri dan menjadi wali nikah (CLD-KHI pasal pasal 7), mahar bisa diberikan oleh calon istri dan suami (pasal16), poligami dilarang, perkawinan dengan batasan waktu boleh dilakukan, perkawinan antar agama dibolehkan, istri boleh memiliki hak thalaq dan ruju’, hak dan kewajiban suami istri setara (pasal 50). Beberapa item permasalahan perkawinan CLD-KHI itu, bisa jadi dilatarbelakangi adanya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuandalam memberikan peran-peran dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam masalah kehidupan keluarga. (I back)