Senin, 4 April 2016. Bertempat di Auditorium Utama IAIN Tulungagung berlangsung kegiatan Bedah Buku “MENGELOLA ZAKAT INDONESIA : Diskursus Pengelolaan Zakat Nasional dari Rezim UUNo. 39 Tahun 1999 ke Rezim UUNo. 23 Tahun 2011”, karya Yusuf Wibisono, SE, ME, seorang akademisi dan juga peneliti dari Universitas Indonesia Jakarta. Hadir pada kesempatan yang sama, Ahmad Supriyadi, M.Pd.I, seorang praktisi yang bekerja di Baznas Kabupaten, selaku narasumber pembahas.
Acara dimulai pukul 09.00 WIB. Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Dr. H. Asmawi, M.Ag, berkesempatan memberikan sambutan pertama sekaligus mewakili kepanitiaan Bedah Buku, sebelum akhirnya Wakil Rektor I, Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag, secara resmi membuka acara tersebut.
Auditorium Utama yang sejatinya hanya menampung sekitar tiga ratus orang penuh sesak oleh peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa FASIH, serta para stakeholder yang terdiri dari Kasi Penyelenggara Zakat dan Wakaf Kemenag Tulungagung, para pimpinan BAZ dan LAZ kabupaten Tulungagung. Bagus Ahmadi, M.Sy. bertindak sebagai moderator kegiatan Bedah Buku, acara inti pun dimulai. Yusuf Wibisono, S.E, M.E, selaku penulis buku tersebut, mendapat kesempatan pertama untuk sedikit mengulas isi dari buku yang ia tulis. Dengan durasi yang diberikan hanya tiga puluh menit, penulis berusaha menjelaskan sedetail mungkin terkait permasalahan yang ia kaji dalam bukunya tersebut.
Menurutnya, adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang zakat sebagai pengganti Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, dianggap masih belum efektif, dan bahkan penulis yang menampakkan sisi kontradiktifnya terkait UU yang baru tersebut berani berargumen bahwa semestinya UU tersebut tidak layak untuk diundangkan, dengan alasan dalih-dalih pembentuk UU tersebut dinilai tidak menguatkan.
Menurut pemaparan penulis, UU zakat terbaru (yang digagas oleh Kementerian Agama) dilandasi atas tiga aspek. Yang pertama aspek fikih. Merujuk pada Qur’an surat at-Taubah ayat 103, “Khudz min amwaa lihim”, penggalan kata “Khudz” memiliki makna perintah, mengindikasikan bahwa zakat harus dikelola oleh yang berkuasa, dalam hal ini adalah pemerintah. Yang kedua aspek sejarah. Bahwa di masa Nabi saw. dan seterusnya, pengelolaan zakat dipegang oleh negara dalam wujud baitul maal. Yang ketiga adalah aspek kekinian. Bahwa negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pengelolaan zakat sudah sangat berkembang, dan negara punya andil di dalamnya.
Namun, dari ketiga aspek dasar sebagai pembentuk Undang-undang baru ini, semuanya ditolak oleh penulis, dengan alasan aspek-aspek tersebut malah justru memperlihatkan sisi lemah dari orang-orang Kementerian Agama sendiri.
Sementara itu, narasumber pembahas, Ahmad Supriyadi, M.Pd.I, memberikan komentar terkait pemaparan narasumber utama. Menurutnya, apa yang sudah ditulis oleh penulis sudah tepat, dan ia juga mengapresiasi keberanian penulis dalam memuat argumen-argumen yang kontradiktif dengan UU tersebut. Namun, Ahmad Supriyadi menambahkan, bahwa dengan keluarnya UU zakat terbaru justru akan mengakomodir pertumbuhan BAZ atau LAZ untuk jauh lebih berkembang, dan profesional tentunya. Yang justru diperhatikan adalah, semestinya antara kedua lembaga tersebut harus bisa saling bersinergi mengelola potensi zakat yang besar ini.
Karenanya, diharapkan dengan kegiatan-kegiatan bedah buku semacam ini, diharapkan ada kesadaran dari seluruh elemen untuk lebih menseriusi pengelolaan zakat. Khususnya bagi para mahasiswa, yang ke depannya sangat diharapkan kontribusi pemikiran serta tenaganya untuk bersama-sama menata tata kelola zakat nasional agar jauh lebih berkembang dan dapat mengena sesuai dengan target yang sudah dicanangkan. Sekian.