Diskusi Ilmiah Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum

Pada diskusi yang kedua ini, dosen Fasih yang menjadi narasumber adalah Ibu Dr. Iffatin Nur, M.Ag. dan Indri Hadisiswati, S.H., M.H. Materi yang dijadikan sebagai bahan diskusi untuk kali ini adalah tentang PERTANAHAN. Narasumber yang pertama dengan tema "Kajian Kritis Hukum Pertanahan dalam Konteks Ke-Indonesia-an Perspektif Fiqh". Sedangkan narasumber yang kedua dengan tema "Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak atas Tanah".

Menurut narasumber yang pertama Dr. Iffatin Nur, Landasan Transendentalatas tema ini antara lain: QS. al-Hasyr ayat 7, QS. Al-Baqarah ayat 29dan ayat284. Dalam konteks pertanahan di Indonesia, konflik dan protes-protes masalah pertanahan ini sudah banyak terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan pra-kolonial sampai sekarang yang penyelesaiannya melibatkan para ulama dan pemuka-pemuka agama dalam bentuk gerakan advokasi pertanahan. Maka berdasarkan hal diatas, diperlukan pembahasan bersama dalam menyikapi isu pertanahan dan konflik agraria dalam perspektif hukum Islam (fiqih).

Dalam fiqh, kata hak kadang-kadang digunakan untuk pengertian umum, dan kadang-kadang untuk pengertian khusus. Pengertian umum hak meliputi benda-benda yang dimiliki, manfaat dan maslahah yang ditetapkan shara (i’tibariyah) seperti hak shuf’ah, khiyar, hadhanah,dan lain-lain. Sedangkan pengertian khusus hak terdapat dalam huquq al-irtifaq, yakni hak yang melekat pada benda tetap (bukan benda bergerak) untuk memperoleh manfaat benda tetap lain yang berdampingan dan bukan miliknya.

Dari paparan diatas nampak jelas bahwa hak melahirkan interaksi relasional. Obyeknya bisa berupa benda seperti hak piutang, atau kekuasaan(wewenang) seperti hak wali atas mereka yang berada dibawah perwaliannya. Selain itu, hak juga menuntut adanya kekeuasaan monopolistik kepada seseoranguntuk mempergunakannya. Oleh karena itu, pemberian ijin untuk misalnya- berburu dan pindah ke tempat lain bukan merupakan hak, tetapi merupakan rukhsah (fasilitas).

Jadi, hak berdiri diatas asas tidak adanya persamaan dengan orang lain terhadap benda atau hal lain yang dikuasainya. Hak timbul berdasarkan sebab khusus, seperti hak perwalian seorang ayah terhadap anak-anaknya disebabkan adanya intisab, dan hak menuntut upah karena adanya pekerjaan. Adapun rukhsah (fasilitas) sebabnya ialah karena adanya izin umum dari penguasa hukum.

Bertolak dari penjelasan diatas yang menyatakan bahwa hak merupakan ketentuankhusus yang ditetapkan oleh shara, maka hak lahir dari keputusan shara. Jenis penetapan shara, secara garis besar, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk. Pertama, shara menetapkan hak dengan menggunakan hak prerogatifnya, sehingga didalamnya tidak ada keterlibatan pihak lain, seperti hak menentukan jenis-jenis ritual beserta mekanismenya.

Kedua, shara menetapkan hak karena adanya sebab yang didalamnya ada keterlibatan manusia, seperti hak suami-istri yang lahir dari pernikahan, hak buruh-majikan yang lahir dari kontrak dan hak rakyat-penguasa yang muncul karena baiat (pemilihan). Hak-hak tersebut muncul karena mereka melakukan interaksi, atau karena kehendak pribadi, atau karena ada maslahat yang harus di rengkuh. Dengan demikian, jika diperinci, sumber hak ada empat, yaitu: [a] Shara; [b] akad; [c] kehendak pribadi [d] maslahah.

Diyakini oleh kalangan Fuqaha' bahwa maslahahterjabarkan dalam perlindungan terhadap 5 hak dasar, yakni: [1]Terlindunginya hak berkeyakinan sesuai kepercayaan yang dianaut (hifz al‑din); [2]Terlindunginya hak untuk hidup secara layak (hifz al‑nafs); [3]Terlindunginya hak reproduksi (hifz al‑nasl); [4]Terlindunginya hak kepemilikan atas barang dan jasa (hifz al‑mal); dan [5]Terlindunginya hak untuk berfikir bebas (hifz al‑aql), yang kemudian disebut sebagai maqashid al-syariah, tujuan utama keseluruhan atauran-aturansyariat, baik yang bersifat suruhan maupun larangan; suruhan yang imperatif (wajib) maupun yang bersifat persuasif (sunnah), atau larangan yang imperatif (haram) maupun yang persuasif (makruh). Dari 5 hak dasar ini (al-dlarriyat al-khams), kemudian dijabarkan hak-hak lain yang lebih rinci, baik sebagai hak-hak sekunder (al-hjiyyat) maupun hak-hak yang bersifat komplementer atau pelengkap (al-takliyyat atau al-tahsniyyat).

Spektrum hak secara umum terbagi menjadi empat kategori sesuai dengan sudut pandang pemiliknya, dapat tidaknya digugurkan, dapat tidaknya diwariskan, dan sangkut pautnya dengan benda materiil. Pertama, hak dilihat dari sisi pemiliknya. Ditinjau dari segi pemiliknya, hak terbagi menjadi: [a] hak Allah; [b] hak manusia [c] hak bersama antara hak Allah dan hak manusia tetapi hak Allah lebih dominan [d] hak bersama antara hak Allah dan Hak manusia, tetapi hak manusia lebih banyak. Kedua, hak ditinjau dari dapat-tidaknya digugurkan; Hak ditinjau dari segi dapat tidaknya digugurkan hak dibagi menjadi dua; yakni hak yang dapat digugurkan dan hak yang tidak dapat digugurkan.Ketiga, hak dilihat dari dapat-tidaknya diwariskan.Ditinjau dari segi dapat tidaknya diwariskan, hak dibagi menjadi hak yang dapat diwaris dan hak yang tidak dapat diwaris. Hak yang dapat diwaris seperti hak penjual menahan barang yang dijual sebelum dilunasi harganya, hak penerima gadai menahan barang gadaian, hak-hak irtifaq, dan sebagainya. Sedangkan hak yang tidak dapat diwaris seperti hak shufah, hakhadlanah, dan hak perwalian.Keempat, hak ditinjau dari sangkut pautnya dengan benda materiil. Ditinjau dari segi sangkut pautnya dengan benda materiil, hak dibagi menjadi: [a] hakal-maliyyah, dan [b] hakghair al-maliyyah

Dalam al-Quran, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik Allah SWT. Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. Yang tidak terikat dan bersifat universal, sama halnya air, udara, sinar matahari dan lain-lain; semuanya diperuntukkan untuk dimanfaatkan oleh umum dan berguna bagi seluruh umat.

Pengaturan soal kepemilikan dan hak-hak lain atas tanah, seperti hak pakai, hak guna bangunan dan sebagainya), menjadi sangat penting. Secara rinci, jika dilihat dari subyek penguasanya, tanah itu bisa dibagi dua, yaitu tanah yang ada dalam penguasaan pemerintah, dan tanah yang ada dalam penguasaan perorangan/badan.

Ada dua hak atas tanah jika dilihat dari hubungannya dengan seseorang/badah hukum:(1)  Hubungan hak kepemilikan (haq al-milkiyah). Hak kepemilikan ini dapat diperoleh dengan cara-cara sbb: membuka lahan baru (Ihya al-Mawat), pemilikantanah melalui jual-beli (iwadl, tukar menukar), pemilikandengan cara perwarisan (mirts), dan  pemilikanmelalui pemberian (hibah atau hadiah). (2) Hubungan hak guna atau pemanfaatan (haq al-istighlal). atau hak pemanfaatan (haq al-intifa') adalah hak yang diberikan oleh negara/pemerintah bukan atas dzatnya tanah/bumi itu sendiri melainkan pada pemanfaatannya belaka. Hak ini didapat melalui cara-cara:pertama, tahjir, adalah pengkaplingan terhadap tanah bebas yang belum menjadi milik seseorang/badan. Kedua, iqtha', yang disebutjuga tanah hadiah, adalah sistem hak pakai yang yang asal-usulnya dapat ditelusuri pada zaman Nabi muhammad.

Berdasarkan penelitianhadis dan pernyataan sejarah, ada tiga ketegori tanah yang dijadikan Iqta yaitu: tanah tandus, tanah-tanah tidak terpakai, dan tanah negara, yang dimaksud disini adalah tanah yang berasal dari wilayah taklukkan oleh para Khalifah. Adapun macam-macam iqta menurut ulama fiqhada tiga yaitu:  iqta al-mawat, iqta al-irfaq (iqta al-amir), dan iqta al-maadin. Ketiga, irtifak adalah hakuntuk ikut mendapatkan manfaat dari tanah, terutama yang diperuntukkan bagi keperluan bersama, seperti jalan, aliran sungai atau jalur-jalur hijau, cagar alam, dsb. Hak ini berlaku umum dan pemanfatannya tidak boleh mengganggu keutuhan tanah itu sendiri dan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh orang banyak. Keempat, hima; hak atas tanah yang diperuntukkan secara kolektif untuk satu suku atau lebih untuk dikelola atau untuk kebutuhan yang lain. Pemilikan tanah pribadi merupakan sesuatu yang tidak dikenal dikalangan orang Badui. Hak terbatas orang Badui atas tanah mungkin merupakan asal usul perkembangan cadangan kolektif yang haknya dibuat mutlak. Sedangkan suku yang lainnya berkewajiban untuk tidak mengganggu hak itu. Dasar Hima biasanya makanan ternak atau air. Biasanya dalam Hima terdapat satu atau lebih mata air. Sifatnya yang nomadik tampak jelas dari kenyataan bahwa biasanya tanah itu dibiarkan tidak digarap. Pada mulanya hak istimewa Hima tidak bersifat tetap, tetapi kemudian jika ia tetap dalam pemilikan suatu suku selama masa yang lebih lama, maka akan menjadi milik mereka. Seringkali Hima yang luas menjadi milik beberapa suku. (I Back)