Diskusi Syariah: Awal Bulan Hijriyah dipengaruhi Politik

Untuk meningkatkan kualitas keilmuan civitas akademika STAIN Tulungagung, Jurusan Syariah melaksanakan Diskusi Reguler. Diskusi yang diikuti oleh Dosen dan Karyawan in dilaksanakan setiap bulan. Pada hari Rabu, tanggal 27 Februari 2013 dilaksanakan Diskusi di Jurusan Syariah dengan mengambil tema "Pergulatan Politik Identitas dalam Hisab Rukyat di Indonesia". Tema ini disampaikan oleh Dosen Syariah Ahmad Musonnif, M.HI. 

Di awal penyampaian makalahnya, Dosen yang dikenal dengan pakar Falak STAIN Tulungagung menyampaikan latar belakang mengenai tema diskusi kali ini. Menurutnya, secara historis Islam mengambil identitas yang berbeda dengan agama lainnya seperti Yahudi. Beliau mencontohkan saat Nabi akan melaksanakan Puasa Asyura tanggal 10 Muharram, oleh Sahabat dikritik karena sama dengan Yahudi. Maka dari itu, Nabi menambahkan Puasa tanggal 9 Muharram agar tidak sama dengan agama Yahudi. Begitu juga di Indonesia,

dalam penentuan awal Bulan Hijriyah, setiap kelompok mempunyai cara atau metode yang berbeda dengan kelompok yang lainnya. Bahkan menurutnya ada kelompok yang aneh-aneh dalam menentukan awal Bulan Hijriyah, khususnya Bulan Ramadlan dan Bulan Syawal. Seperti penentuan dengan metode pasang surut air laut, metode mata batin dan metode lainnya yang telah masyhur, metode hisab, rukyat, dan imkanur rukyat. Salah satu penyebabnya dikarenakan adanya keinginan yang kuat untuk memunculkan identitas kelompoknya. Dengan metode tertentu maka kelompok tersebut akan dikenal identitasnya.

Lebih lanjut beliau juga menjelaskan bahwa penetapan awal bulan Hijriyah di Indonesia, menurut pengamatannya dipengaruhi oleh faktor politik. Seperti pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali, Tarmidzi Taher, dan Said Aqil Husein Al Munawwar serta Suryadharma Ali awal bulan tersebut terjadi perbedaan yang sangat menonjol. Menurutnya dalam penetapan awal Ramadlan, Syawal ataupun Idul Adha pada masa itu, sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan atau pun organisasi keagamaan.

Diskusi ini dilanjutkan dengan penyampaian komentar dan tanya jawab dari peserta Diskusi. Terutama mengenai hal mengapa di Indonesia masih banyak perbedaan dan mengapa pemateri menganalisa dari segi politik serta apa upaya pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Merespon hal ini beliau menyampaikan bahwa pendekatan normatif dalam menganalisa metode penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia kurang tepat. Karena pendekatan normatif  kurang mampu melihat motif suatu kelompok untuk berbeda. karena itulah pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti politik dan sejarah diperlukan agar mampu mencari akar perbedaan yang sebenarnya. Bahkan beliaua dalam candaannya, andaikan menjadi Menteri Agama dan yang harus dilakukan oleh semua orang adalah toleransi. Karena toleransi merupakan solusi atas berbagai perbedaan yang muncul dalam penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia.