Awal perkuliahan semester ganjil 2019/2020 dibuka dengan acara bedah buku

Dalam rangka mentradisikan budaya akademik, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Institut Agama Islam Negeri Tulungagung kembali mengadakan kegiatan bedah buku dengan tema “Epistemologi Fiqh Kaum Tekstualis; Telaah Pemikiran Ibn Hazm al-Andalusi”. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Senin tanggal 19 Agustus 2019 di Aula lt.6 gedung Saifudin Zuhri Institut Agama Islam Negeri Tulungagung yang dibuka oleh dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Dr. H. Ahmad Muhtadi Anshor, M.Ag. Dalam sambutannya, beliau berpesan agar mahasiswa mentradisikan budaya akademik dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan semacam ini.    Kegiatan bedah buku ini menghadirkan narasumber seorang ilmuan hukum Islam, dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung, dan penulis buku “Epistemologi Fiqh Kaum Tekstualis; Telaah Pemikiran Ibn Hazm al-Andalusi”, yaitu Dr. H. Asmawi, M.Ag. Dalam bukunya, beliau mengulas tuntas epistemologi fiqh Ibnu Hazm yang tekstualis. Tekstualitas pemikiran fiqh Ibnu Hazm dan penolakannya terhadap ra’yu menurut Dr. Asmawi bukanlah semata-mata karena apriorinya terhadap madzhab al-Dhahiri (eksoteris) yang ia ikuti, namun karena ia mencari solusi alternatif  atas problem-problem yang dihadapi masyarakat saat itu, yaitu kemelut politik yang berkepanjangan.

Sebagai pembanding dalam bedah buku kali ini adalah Dr. Kutbuddin Aibak, S.Ag., M.H.I., dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. Ia mengatakan bahwa tingkatan wawasan keislaman seorang muslim ada tiga; pertama Islam keturunan, dengan kecenderungannya untuk bertaqlid dalam menjalankan aktifitas ubudiahnya; kedua, Islam saya; ada usaha untuk mencari alasan kenapa ia beribadah; ketiga, Islam kita, telah lahir kesadaran bahwa ada banyak keragaman dalam fiqh seperti dalam konteks ubudiyyah dan keragaman ini diakui sebagai rahmat.

Di akhir penjelasannya, narasumber berpesan kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum untuk kembali menguatkan penguasaan keilmuan fikihnya. Kekuatan bangunan keilmuan fikih ini tidak dapat diperoleh dengan cara instan, harus dibangun di atas pondasi metodologi yang kuat seperti bahasa Arab dan ushul fiqh.